Pemerintahan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mencuat dalam wacana global setelah laporan Wall Street Journal mengungkapkan rencana tekanan dagang yang melibatkan lebih dari 70 negara. Rencana ini bertujuan untuk mengisolasi China dari jejaring perdagangan dunia, dengan imbalan pengurangan tarif dan hambatan dagang bagi negara-negara yang patuh terhadap strategi Washington. Pertanyaannya, apakah Indonesia harus ikut dalam tekanan tersebut?
Dalam rencana itu, pemerintahan Trump berusaha meminta komitmen negara mitra dagangnya untuk membatasi keterlibatan ekonomi dengan China. Di antaranya adalah menolak kehadiran kapal-kapal dagang China, melarang perusahaan asal Negeri Tirai Bambu beroperasi di wilayah mereka, dan menghentikan arus masuk barang industri murah dari China. Langkah ini merupakan bagian dari strategi tekanan ekonomi yang bertujuan memaksa China kembali ke meja perundingan.
Bagi Indonesia, posisi seperti ini bukan perkara sepele. Sebagai negara dengan hubungan dagang yang erat dengan kedua negara besar, AS dan China, Indonesia berpotensi terjebak dalam tarik-menarik kepentingan global. China saat ini merupakan mitra dagang terbesar Indonesia, dengan volume ekspor-impor yang terus meningkat setiap tahunnya.
Keikutsertaan dalam strategi isolasi terhadap China tentu akan berdampak pada hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok. Selain kerugian ekonomi, langkah seperti itu bisa memicu reaksi politik dan diplomatik dari Beijing. Dalam jangka panjang, ini bisa berpengaruh terhadap investasi, pinjaman infrastruktur, hingga proyek strategis seperti Belt and Road Initiative (BRI) yang tengah berjalan di tanah air.
Di sisi lain, tawaran Amerika Serikat berupa pengurangan tarif tentu menggoda, apalagi bagi sektor-sektor industri dalam negeri yang selama ini kesulitan menembus pasar ekspor karena tingginya hambatan dagang. Namun, apakah imbalan tersebut sepadan dengan risiko geopolitik dan ekonomi yang harus ditanggung?
Pemerintah Indonesia harus cermat menilai dinamika global ini. Tak bisa dipungkiri, posisi Indonesia yang strategis di kawasan Indo-Pasifik membuatnya menjadi incaran berbagai kekuatan global. Namun, memilih berpihak secara terang-terangan justru berpotensi melemahkan posisi tawar Indonesia di mata internasional.
Sebagai negara nonblok, Indonesia memiliki tradisi menjaga independensi dalam kebijakan luar negeri. Prinsip politik bebas aktif yang menjadi fondasi diplomasi Indonesia seharusnya menjadi pegangan utama dalam merespons tekanan semacam ini. Indonesia tidak boleh terbawa dalam permainan zero-sum game antara dua kekuatan besar dunia.
Lebih dari itu, Indonesia juga harus mempertimbangkan kepentingan jangka panjang dalam membangun ekosistem perdagangan yang adil dan berkelanjutan. Mengisolasi salah satu mitra dagang besar dunia bisa menciptakan ketidakseimbangan yang berakibat buruk pada perekonomian global, termasuk Indonesia.
Strategi alternatif yang bisa diambil Indonesia adalah memperkuat kerjasama ekonomi multilateral dengan negara-negara ASEAN dan kawasan Indo-Pasifik. Dengan begitu, Indonesia dapat memperkuat posisi tawarnya tanpa harus berpihak secara langsung kepada Amerika Serikat ataupun China.
Langkah ini juga sejalan dengan upaya diversifikasi pasar ekspor dan impor yang saat ini tengah digalakkan oleh pemerintah. Ketergantungan berlebihan pada satu negara, baik itu AS maupun China, adalah risiko besar dalam situasi global yang semakin tidak menentu.
Tidak dapat dimungkiri, tekanan dari pihak seperti Trump akan terus datang dalam berbagai bentuk, terlebih menjelang pemilihan presiden di AS. Namun, Indonesia tidak seharusnya gegabah mengambil keputusan yang hanya menguntungkan dalam jangka pendek, tapi merugikan dalam jangka panjang.
Indonesia harus tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai dasar dalam merespons dinamika geopolitik global. Dalam konteks ini, diplomasi ekonomi yang cerdas dan netral menjadi kunci utama untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan nasional.
Kekuatan diplomasi Indonesia terletak pada kemampuannya membangun jembatan, bukan memilih sisi. Oleh karena itu, Indonesia lebih baik mengambil posisi sebagai penengah dan penyambung dialog, bukan sebagai pion dalam strategi tekanan negara adidaya.
Lebih penting lagi, Indonesia harus memperkuat kapasitas domestiknya. Ketergantungan terhadap negara besar hanya bisa dikurangi apabila Indonesia memiliki daya saing industri dan kemandirian ekonomi yang tinggi. Inilah fondasi yang seharusnya dibangun dengan serius.
Pemerintah perlu meningkatkan investasi dalam teknologi, pendidikan, dan infrastruktur agar tidak mudah ditekan atau digoda dengan iming-iming jangka pendek. Jika fondasi ekonomi kuat, maka tekanan dari luar akan lebih mudah dihadapi dengan kepala tegak.
Di tengah krisis global dan ketidakpastian geopolitik, Indonesia harus menjadi jangkar stabilitas kawasan, bukan sekadar pelengkap kepentingan negara lain. Ini memerlukan strategi yang matang, kesabaran diplomatik, dan keberanian untuk menolak tekanan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasional.
Maka dari itu, menjawab pertanyaan awal: seharusnya Indonesia tidak serta-merta mengikuti tekanan dagang dari Trump atau siapa pun. Yang harus dikedepankan adalah kepentingan nasional, stabilitas regional, dan integritas dalam diplomasi luar negeri.
Dengan tetap menjaga prinsip bebas aktif dan memperkuat kemandirian ekonomi, Indonesia akan mampu menghadapi tekanan global tanpa kehilangan arah. Dunia tengah berubah cepat, dan Indonesia harus mampu menavigasinya dengan bijak dan bermartabat.
Dibuat oleh AI, baca info lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar